Jumat, 30 Oktober 2009

DETERMINAN PELAKSANAAN KERJASAMA ANTAR DAERAH DI INDONESIA,
SEBUAH REFLEKSI
(sub tema 4 : Kerjasama Pelayanan Umum dan social serta administrasi pembangunan daerah)
Oleh : Hardi Warsono
Abstraksi
Sebuah kerjasama antar daerah terjadi karena ada kesepakatan untuk mencapai tujuan secara bersama. Oleh karenanya, sifat hubungan tidaklah tepat dilakukan dengan pendekatan intra organisasi yang mengedepankan hubungan hirarkhis. Dalam hubungan setara ini konsep heterarkhis yang horizontal dengan pendekatan networking sebaiknya dikedepankan. Dalam praktek pelaksanaan kerjasama juga perlu didukung oleh regulasi yang konsisten, disamping menepis ego daerah yang berlebihan. Arah pengembangan kerjasama semestinya menuju mengarah pada kolaborasi daripada sekedar cooperasi dan koordinasi.
Kata Kunci : networking, kerjasma dan kolaborasi

A. PENDAHULUAN
Dalam runutan literature dunia pada tiga tahun terakhir banyak dijumpai bahasan tentang intergovernmental management, yang memberikan referensi pada penyelenggaraan manajemen antar daerah otonom (Mc Guire, O’Toole, Thomson dll). Berbeda dengan pengaturan sendiri, pengaturan bersama ini bersifat unik. Keunikan tersebut antara lain, adanya mekanisme komunikasi, negosisasi dan peleburan ego diri menuju pada kerjasama (cooperasi) dan bahkan kolaborasi (Thomson, )
Sederet kegiatan seperti rapat koordinasi antar daerah, baik antar kabupaten/kota dalam satu provinsi maupun antar kabupaten / kota antar provinsi, pelatihan taa naskah kerjasama dan bahkan workshop yang bertujuan merintis dan merevitalisasi kerjasama yang sudah ada marak diselenggarakan di seantero tanah air juga mewarnai praktek manajemen kerjasama antar daerah ini. Sebuah fenomena positif yang turut mengikis kristalisasi ego daerah yang sering dituding sebagai biang keladi mandegnya sinergi antar daerah.
Ada banyak ragam kerjasama (antar) daerah antara lain : (i) kerjasama antar daerah yang berdekatan, (ii) kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan, (iii) kerjasama daerah dengan pihak ke tiga, dan (iv) kerjasama antar daerah yang bersifat massal. Kerjasama antar daerah yang berdekatan termasuk paling banyak dilakukan. Kerjasama antar daerah yang berdekatan ini ada yang dikerangkai kelembagaan regional seperti Kartomantul, Barlingmascakeb, Subosukawonosraten, Sapta mitra pantura (Sampan), Pakujembara (dalam tahap rintisan), Germakertosusilo (sebagai pengembangan Gerbangkertosusilo) dan lain-lain yang berada dalam satu wilayah provinsi dan juga kerjasama antar dua wilayah provinsi seperti Ratubangnegoro (Jatim-Jateng), Karisma Pawirogo (Jatim- Jateng), Pawonsari (Jateng-DIY) dan lain sebagainya. Kerjasama antar daerah yang berdekatan tidak selalu dikerangkai dengan lembaga kerjasama yang umumnya memiliki akronim cantik, tetapi juga terjadi antar kab/kota secara bilateral atau trilateral tanpa kelembagaan permanen, seperti misalnya kerjasama antar kabupaten / kota pada wilayah perbatasan Provinsi.
Selain dapat dibedakan dalam bentuknya, kerjasama antar daerah juga dapat diklasifikasikan dalam kerjasama sektoral. Umumnya dapat dipilah menjadi dua aras, yakni : kerjasama pengembangan ekonomi yang dikerangkai dengan konsep Regional Economics Developmnet dan kerjasama dalam pelayanan public (public services). Rincian sector juga dapat dielaborasi lanjut, sperti kerjasama dalam pengadaan infrastruktur bersama seperti Banjarkebuka, antara Kabupaten Banjarnegara, Kebumen dan Pekalongan dalam pembangunan infrastruktur jalan, kerjasama Klambu-Kudu antara Kota Semarang dan Kabupaten Grobogan dalam pembangunan infrastruktur air bersih, kerjasama pengambangan ekonomi dan lain sebagainya.
Perlu juga dicatat, bahwa maraknya kerjasama regional dengan aneka nama, dengan akronim indah tersebut lebih terkenal namanya daripada kegiatan bersamanya (collective action). Sejumlah kendala menyertai pelaksanaan kerjasama antar daerah tersebut.

B. PENGALAMAN PRAKTEK KERJASAMA ANTAR DAERAH YANG BERDEKATAN : DARI PEMASARAN BERSAMA MENUJU PELAYANAN PUBLIK
Pendekatan regionalisasi dalam kerjasama antar daerah yang berdekatan sangat popular baik di luar maupun di dalam negeri. Banyak pengalaman praktek yang telah dilakukan. Dalam runutan pengalaman praktek kerjasama antar daerah, khususnya yang berdekatan di luar negeri tercatat beberapa lembaga seperti : SALGA (South African Local Government Association) di Afrika Selatan, Sound Transit di Washington, LAA (The Local Autonomy Act) di Korsel, dan LCP (The League of Cities of The Philippines) di Philipina. Spesifikasi masing-masing Nampak dalam tabel berikut :
Tabel 1. Kekhususan Masing-Masing Kerjasama Antar Daerah
SALGA
(Afrika Selatan) SOUND TRANSIT
(Washington) LAA
(Korsel) LCP
(Philipina)
Cakupan kerjasama yang dilakukan cukup komprehensif Spesifik pada bidang tertentu dalam masalah perkotaan di 5 kota. Ada 2 pola asosiasi umum yakni :
1. Inter governmen-tal Relations (IGR), dan
2. Intergo vernmental Management (IGM). Model unik, karena kepentingan pemerintah pusat sangat dominan, dan asosiasi cenderung untuk kepentingan pusat Mampu berevolusi dari organisasi para politisi lokal menjadi institusi berbasis keanggotaan institusi pemkot dengan fungsi yang beragam.
Sumber : disarikan dari Wawan Mas’udi dkk (dalam Pratikno, 2007)
Ada dua pola hubungan kelembagaan antar pemerintah daerah yang dapat dicatat, yakni intergovernemental relation (IGR) dan intergovernmental management (IGM) yang keduanya mengedepankan karakter networking. Intergovernmental relations merupakan sebuah pola oraganisasi antar daerah yang hanya memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama, sedangkan Intergovernmental Management merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan transportasi umum di Washington State).
Pengalaman praktek kerjasama antar daerah yang berdekatan (di Jawa Tengah) dengan pendekatan kelembagaan nampak pada uraian berikut : terdapat tiga (3) variasi dalam regionalisasi dan kerjasama regional, yakni : (i) regionalisasi tanpa kerjasama dengan pendekatan keruangan, (ii) regionalisasi dan kerjasama regional dengan pendekatan ekonomi (Regional Marketing) dan (iii) regionalisasi dan kerjasama regional dengan pendekatan koordinatif. Samapi tahun 2009 kerjasama dengan pendekatan pelayanan publik masih dalam tahap perintisan.
Regionalisasi keruangan didasarkan kebijakan provinsi (Perda Propinsi Jawa Tengah nomor 21 Tahun 2003) yang menghasilkan 8 Kawasan Prioritas, yakni Barlingmascakeb, Purwomanggung, Subosukowonosraten, Banglor, Wanarakuti, Kedungsapur, Tangkallangka, dan Bergas. Tiga ( 3 ) region diantaranya berkembang menjadi kawasan kerjasama regional dengan pembentukan lembaga kerjasama, yakni Barlingmascakeb, Subosukowonosraten, dan Kedungsapur. Sementara itu, ada 1 lembaga kerjasama yang dibentuk tidak berdasarkan Perda Tata Ruang Provinsi, (seperti yang lainnya) yakni Sapta Mitra Pantura (Sampan).
Dari 4 lembaga kerjasama regional yang ada secara umum memiliki 2 pola, yakni : Pola Intergovernmental Relation yakni kerjasama sebatas koordinasi pembangunan (Kedungsepur), dan Pola Intergovernmental Management, yakni memiliki program aksi bersama yang dikelola penuh oleh pelaksana kerjasama yang dipimpin oleh seorang Regional Manager (Barlingmascakeb, Subosukawonosraten dan Sampan).
Dari lembaga kerjasama yang ada di Jawa Tengah, hanya Kedungsepur yang tidak fokus pada regional marketing. Dinamika pada kerjasama Kedungsepur nampak pada kegamangannya dalam melangkah keaarah regional management dari intergovernmental relation yang bersifat koordinatif. Pada lembaga kerjasama regional yang lain yang memfokuskan pada regional marketing, penilaian pada kerjasama pembangunan infrastruktur mendapatkan penilaian kurang dari daerah yang tergabung. Bila dicermati platform lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah yang ada, belum ada kerjasama yang berbasis pada pelayanan publik, termasuk pembangunan infrastruktur. Satu-satunya kelembagaan kerjasama yang ada pada pembangunan infrastruktur adalah Banjarkebuka yang bersifat sementara dan telah berakhir dengan telah terbangunnya jalan regional antara Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Pekalongan. Sementara satu-satunya lembaga yang masih ada yang belum berkonsep regional marketing yakni Kedungsepur bersifat koordinasi pembangunan dan belum ada kegiatan pembangunan riil bidang pelayanan publik, termasuk pembangunan infrastruktur.

C. BEBERAPA DETERMINAN KERJASAMA ANTAR DAERAH
Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam regionalisasi dan kerjasama regional dapat dirunut dari proses regionalisasi dan model komunikasi antar daerah. Dari runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah, antara lain, Goggin (1990), Weicchart (2002). Pengembangan lanjut diberikan oleh ; O 'Toole (2004); Thomson (2006); Rendell serta Yablonsky (2006) dan Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009) , (2006). Bila Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor pendukung dan penghambat kerjasama antar daerah yang bekerja pada beberapa level pemerintahan, Weicchart (2002) telah secara tegas menyebut antara lain : tekanan global, tekanan keterbatasan kemampuan dan potensi serta tekanan ego lokal. Elaborasi lanjut diberikan oleh O 'Toole (2004) yang menekankan pentingnya keselarasan antara stabilitas struktur organisasi dan manajerial. Pada periode waktu selanjutnya secara mengejutkan Thomson memberikan pemahaman konsep yang lebih dalam dari kerjasama antar daerah dengan mengenalkan semangat kolaborasi beserta dimensi-dimensi yang mendukungnya. Ada 5 dimensi kolaborasi antar daerah yakni pemerintahan, admininistrasi, otonomi, mutualisme dan reciprocitas. Sementara itu Rendell serta Yablonsky; Bryson, Crosby dan Stone, memberikan pengkayaan pada mekanisme kerjasama antar daerah dengan memberikan saran tentang tahapan membangun kerjasama dan unusr-unsur yang harus diperhatikan dalam kerjasama antar daerah.
Banyak aspek terkait di dalam kerjasama antar daerah. Beberapa faktor tersebut secara umum dikemukakan oleh Goggin (1990) dan Weichhart (2002). Sejumlah variabel yang disebut sebagai inducements dan constraint factor oleh Goggin dikemukakan dalam The Communications Model of Intergovernmental Policy Implementation sebagai berikut :

















Gb. 1.
The Communications Model of Intergovernmental Policy Implementation
Sumber : Goggin, 1990; 32

Mengadopsi model di atas, dalam pengembangan kerjasama antar daerah terdapat pengaruh variabel pendorong dan penghambat baik dari lembaga pemerintah pada tingkatan lebih atas (Pemerintah Pusat dan Provinsi) maupun pengaruh yang berupa pendorong dan penghambat dari Kabupaten/Kota yang tergabung sendiri. Variabel-variabel pada kedua level pemerintahan ini saling mengkait.
Inducement factors berupa kondisi dan kegiatan yang memberikan dorongan pada keberhasilan implementasi kebijakan, dan sebaliknya constraints memberikan efek kebalikannya. Variabel penghambat dan pendorong yang berasal dari level atas dan bawah bersama-sama akan mempengaruhi hasil keputusan daerah yang kemudian berpengaruh pada kapasitas daerah. Selanjutnya hambatan dan dorongan dari atas dan bawah bersama-sama kapasitas daerah akan berpengaruh pada implementasi kebijakan kerjasama antar daerah.
Kebijakan negara (baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah) memberikan kerangka kebijakan yang dapat menggerakkan proses implementasi kebijakan kerjasama antar daerah di level daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Namun demikian, respon daerah akan sangat tergantung dari kapasitas daerah sendiri untuk bertindak. Teori komunikasi ini memberikan pemahaman tentang hubungan antar daerah pada implementasi kebijakan. Pelaksana daerah akan menerima pesan dari atas dan bawah, yakni menterjemahkan pesan kebijakan dari pemerintah pusat dan provinsi serta pesan aspirasi dan kebutuhan dari bawah.
Goggin memang tidak secara spesifik memberikan informasi tentang bentuk atau ekspresi variabel yang berpengaruh pada proses kerjasama regional. Informasi lanjut diperoleh dari Weichhart. Berdasarkan pendapat Weichhart (2002), variabel yang bekerja pada proses regionalisasi dan kerjasama dapat dirunut sebagai berikut :








Gambar 2. Proses Regionalisasi
Sumber : Disarikan dari Weichhart (2002;14) dan Benyamin Abdurahman (2005,21)
Dari gambar tersebut dapat diidentifikasi secara umum, bahwa tekanan kemampuan pendapatan dan potensi masing-masing daerah, tekanan globalisasi dan egi daerah turut berperan pada efektivitas kerjasama antar daerah.
Secara lebih spesifik, berdasarkan analisa penulis, dalam praktek kerjasama antar daerah di Indonesia terdapat beberapa variable yang turut berperan dalam pasang-surutnya kerjasama antar daerah. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah :
1. Ketidaktegasan Pemerintah Dalam Kebijakan Kerjasama Antar Daerah Dan Implikasinya
Runutan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerntah tentang kerjasama antar daerah dapat ditelusuri dari mandate welfare state pada Undang-undang Dasar 1945. Kebijakan selanjutnya diurai dari Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama pasal 195 dan 196. Sederet regulasi lain (secara lengkap tertuang dalam tabel) mengamanatkan dilakukannya kerjasama bahkan secara eksplisit menyarankan pembentukan badan kerjasama. Namun demikian terdapat pula regulasi yang memberikan pembatasan gerak penyelenggaraan kerjasama antar daerah, terutama kerjasama dengan format kelembagaan regional management.
Tabel 2 Inkonsistensi Regulasi Pada Kerjasama Antar Daerah di Indonesia
Regulasi Pendukung Kerjasama Antar Daerah Regulasi Penghambat Kerjasama Antar Daerah
1. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah amanat kerjasama antar daerah
2. Surat Edaran Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, : bentuk kerjasama
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan
4. Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang : Kerjasama Pembangunan Perkotaan.
5. Permendagri No 22 Tahun 2009 Tentang Juknis Tatacara Kerjasama Daerah
6. Permendagri No 23 Tahun 2009 Tentang Tatacara Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama antar daerah Permendagri No 13 tahun 2006 (yang direvisi dengan Permendagri no 59 Tahun 2007) : tidak secara tegas memberikan ruang pada pos sharing dana untuk kerjasama antar daerah. Peluang pendanaan hanya diwadahi pada mekanisme hibah yang sangat terbatas. Hal ini memberikan dampak psikis berupa ketakutan dan keraguan daerah dalam merintis kerjasama antar daerah, terkait pemeriksaaan administrasi keuangan.
Sumber : Identikasi penulis dari berbagai pendampingan KAD
Dalam struktur pembelanjaan daerah sesuai Permendagri 13 tahun 2006, sharing dana yang sangat diperlukan untuk keberlangsungan kegiatan bersama hanya diwadahi dalam pos hibah yang tentu saja sangat berbeda keleluasaan penggunaannya dibandingkan dengan pengelolaan dana bersama.

Gb. 3. Struktur Pembelanjaan Daerah
Sumber : Kepmendagri 29/2002 dan Permendagri 13/2006

2. Kesalahan Pendekatan dalam Manajemen Kerjasama Antar Daerah
Kerjasama regional dapat dirunut dalam pokok-pokok bahasan manajemen publik, khususnya intergovernmental management dalam literartur dunia. Bahasan tentang intergovernmental management dan intergovernmental relations banyak mengemuka pada literature dan tulisan para pakar public management mulai pertengahan abad 20 (McGuire , 2006; O,Toole ,2004). Michael McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana Bloomington yang juga pengajar Public Management and Intergovernmental Management mengungkapkan bahwa “intergovernmental management is more than just intergovernmental relationships”. Pendapat yang lebih tegas menyebutkan bahwa managemen antar daerah adalah inti dari hubungan antar daerah.
Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan kerjasama antar daerah, terjadi transisi pendekatan dalam melihat lembaga kerjasama antar daerah. Lembaga kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi oleh paradigma klasik. Cara pandang yang melihat lembaga kerjasama antar daerah dalam kerangka intra organization, dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini tercermin dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang dikemukakan oleh Martin Albrow (2004). Ciri menonjol dari birokrasi Weberian ini adalah hirarkhial yakni pola hubungan yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan. Penerapan prinsip-prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas, impersonal ini cenderung inward looking atau dengan parameter intra organization. Cara pandang terhadap lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi kurang tepat karena sifat yang terbentuk dari kerjasama antar daerah (intergovernmental management), adalah relasi horisontal yang lebih mengedepankan networking / inter organization.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa terjadi sejumlah perubahan pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : perubahan dari orientasi lembaga pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian menjadi berorientasi pada small dan less government, egalitarian dan demokratis, perubahan dari orientasi sistem pemerintahan yang sarwa negara ke orientasi sistem pasar (market), perubahan dari sentralistis kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan, perubahan menajemen pemerintahan yang menekankan batas-batas dan aturan yang berlaku hanya untuk satu negara saja, ke arah boundaryless organization, akibat globalisasi, perubahan dari tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureucratic government (Rouke , 1992), dan post bureucartic organization (Heckscher dan Donnellon , 1994), atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (physical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan yang berdasarkan logical structure (Henry Lucas, 1996 (dalam Keban,2009), dan perubahan dari a low trust society ke arah a high trust society (Fukuyama , 1995).
Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi horisontal yang berbasis intergovernmental network pada tingkatan daerah sangat berbeda karakter dengan organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola organisasi rasional menekankan pola hubungan hierarkhis yang melihat organisasi kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat. (Arie Ruhyanto dalam Pratikno, 2007;50). Kerjasama antar daerah yang berpola networking didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan mandiri dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola networking tidak ada struktur kewenangan sentral. Semua tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari semua anggota yang tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam Kickert , dan kawan-kawan,1999). Perbedaan karakter organisasi ini sering rancu dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi sentralistis cukup lama.
Networking merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari beberapa unit organisasi yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif flexible. Dalam format networking, beberapa jenis intergovernmental networks, sesuai urutan derajat networksnya dikemukakan oleh Robert Agranoff (2003), mulai dari (i). information networks, yakni jenis jaringan kerjasama yang paling ringan derajatnya. Pada jenis ini beberapa daerah kabupaten / kota dapat membuat sebuah forum yang berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama (ii) developmental networks, yakni kaitan antar daerah terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah untuk mengatasi masalah di daerah masing-masing, (iii) outreach networks adanya penyusunan program dan strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner) serta (iv) action networks : yang merupakan bentuk intergovernmental networks yang paling solid. Dalam bentuk ini daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program aksi bersama sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing.


3. Masih sebatas koordinasi belum Kolaborasi Dalam Kerjasama Antar Daerah
Kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental cooperation), didefinisikan sebagai “an arrangement between two or more governments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem” (Patterson , 2008). Dalam definisi ini tersirat adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Atau dengan kata lain, pengaturan ini bersifat pengaturan bersama (joint), yang tentu saja berbeda karakteristiknya dibandingkan dengan pengaturan sendiri (internal daerah).
Ann Marie Thomson dan James L. Perry memberikan pemahaman tentang dimensi-dimensi kolaborasi pada tulisan yang bertajuk “Collaboration Processes : Inside the Black Box” yang dimuat dalam Public Administration Review pada bulan Desember 2006. Terdapat 5 (lima) dimensi kerjasama antar daerah, yakni :
1) proses kolaborasi pemerintahan : dimensi pemerintahan
2) proses kolaborasi administrasi : dimensi administrasi
3) proses rekonsiliasi individu dan kepentingan bersama : dimensi otonomi
4) proses membentuk hubungan saling menguntungkan : dimensi mutualitas
5) proses membangun norma sosial capital : dimensi kepercayaan dan reciprocity (saling memberi).
Dari 5 dimensi kerjasama antar daerah tersebut, paling tidak terdapat 2 (dua) dimensi yang bersifat tarik menarik. Dimensi tersebut adalah dimensi administrasi dan dimensi otonom.
Dimensi Administrasi. Kolaborasi bukanlah sebuah usaha yang bersifat self-administering. Kolaborasi ada dikarenakan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki keinginan untuk menggapai sebuah tujuan yang jelas. Implementasi dari kolaborasi adalah sesuatu yang kompleks, tidak hanya dikarenakan partisipasi didalamnya bersifat sukarela dan pelakunya bersifat independen, tetapi juga dikarenakan mekanisme koordinasi tradisional seperti hierarki, kesamaan dan rutinisasi kurang begitu dimungkinkan. komunikasi antar pelakupun lebih didasari pada hubungan saling membutuhkan daripada kesepakatan kontraktual. Meskipun demikian, desentralisasi struktur administratif masih tetap membutuhkan sebuah posisi sentral yang berfungsi mengkoordinasi komunikasi, mengorganisir dan mendistribusikan informasi, dan mengawasi agar semua pihak yang terkait tetap menyadari aturan-aturan yang mengatur hubungan mereka.
Dimensi Otonomi. Dimensi yang penting dalam kolaborasi yang mencakup baik dinamisme potensi dan rasa frustasi yang timbul dalam sebuah proses kolaborasi adalah kenyataan bahwa setiap pihak memiliki identitas ganda. Mereka mempertahankan identitas individual dan kekuatan organisasi secara terpisah dari (atau bersamaan dengan) identitas kolaborasi. Kenyataan ini menciptakan permasalahan antara kepentingan pribadi yaitu menggapai tujuan individual organisasi dan mempertahankan identitas yang terpisah dari kolaborasi, dan kepentingan bersama yaitu menggapai tujuan dari kolaborasi dan mempertahankan akuntabilitas dimata pihak yang lain.
Dilema akuntabilitas-otonomi disebabkan karena kolaborasi bersifat sukarela, dan pihak yang terlibat pada umumnya ingin kejelasan apakah keterlibatannya memiliki kontribusi pada tujuan mereka masing-masing, atau menarik diri sepenuhnya dari kolaborasi.
Dimensi otonomi membedakan antara kontrol bersama dan kontrol individu. Elemen aggregatif dari kolaborasi menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berkolaborasi melindungi identitas pribadi dengan cara mempertahankan kontrol individu. kontrol bersama di lain sisi melibatkan kesediaan tiap-tiap pihak untuk berbagi informasi. Tidak hanya informasi tentang operasi organisasinya tapi juga tentang hal apa yang bisa dan tidak bisa mereka tawarkan pada kolaborasi. Kesediaan untuk berbagi informasi (bahkan jika dengan resiko harus memkompromikan otonomi organisasi) adalah karakteristik unik dari kolaborasi. Berbagi informasi dapat dilihat sebagai “meningkatkan pengertian dari masing-masing pihak terhadap permasalahan yang mereka cari pemecahannya bersama”.
Tekanan antara kepentingan bersama dan kepentingan individual merupakan sebuah permasalahan yang sering terjadi dalam kolaborasi. Proses integrasi antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kelompok bisa dimungkinkan dengan cara membangun kesamaan-kesamaan diluar perbedaan.
Sifat kerjasama sering ditafsirkan sebagai sukarela, tetapi bukan berarti semaunya, karena kerjasama memiliki tujuan dan target tertentu yang harus dicapai oleh pihak-pihak yang bekerja sama. Karenanya, aspek-aspek yang dikerjasamakan dituangkan dalam program resmi dengan manfaat yang dinikmati bersama, serta biaya dan risikonya ditanggung bersama. Sementara itu, kerjasama dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional kerjasama dimaknai sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau lembaga untuk mencapai tujuan bersama (2001;544). Jadi dalam kerjasama ada unsur kegiatan, beberapa pihak dan pencapaian tujuan.
Kolaborasi dapat dirunut pemahamannya dari Ann Marie Thomson (2006) dalam tulisannya yang berjudul ”Collaboration Processes : Inside the Black Box”. Dijelaskan bahwa ada sebuah konsep yang mirip dengan kerjasama tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yakni kolaborasi. Kooperasi, koordinasi dan kolaborasi berbeda dalam hal tingkat kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan kompleksitasnya. Sebuah kerjasama (co-operation) yang menggabungkan 2 sifat, yakni saling memberi atau bertukar sumberdaya dan sifat saling menguntungkan akan mengarah pada sebuah proses kolaborasi. Definisi ini menunjukkan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan yang lebih tinggi dalam kolaborasi daripada kooperasi dan koordinasi. Kolaborasi merupakan proses kolektif dalam pembentukan sebuah kesatuan yang didasari oleh hubungan saling menguntungkan (mutualisme) dan adanya kesamaan tujuan dari organisasi atau individu-individu yang memiliki sifat otonom. Mereka saling berinteraksi melalui negosiasi baik bersifat formal maupun informal dalam suatu aturan yang disepakati bersama dan rasa saling percaya. Walaupun hasil atau tujuan akhir dari sebuah proses kolaborasi tersebut mungkin bersifat pribadi, tetapi tetap memiliki hasil atau keuntungan lain yang bersifat kelompok.
Walaupun kooperasi dan koordinasi mungkin dapat dilihat dalam awal sebuah proses kolaborasi, kolaborasi merupakan perwujudan dari proses integrasi antar individu dalam jangka waktu panjang melalui kelompok-kelompok yang melihat aspek-aspek berbeda dari suatu permasalahan. Kolaborasi mengeksplorasi perbedaan-perbedaan diantara mereka secara konstruktif . Mereka mencari solusi yang mungkin dan mengimplentasikannya secara bersama-sama.
Kolaborasi berarti pihak-pihak yang otonom berinteraksi melalui negosiasi baik secara formal maupun informal. Mereka bersama menyusun struktur dan aturan pengelolaan hubungan antar mereka. Mereka merencanakan tindakan atau keputusan untuk mengatasi isu-isu yang membawa mereka bersama-sama. Mekanisme tersebut merupakan interaksi yang menyangkut sharing atas norma dan manfaat yang saling menguntungkan. Pengertian di atas merupakan definisi kolaborasi yang dikembangkan Thomson dari Wood dan Gray (1991).
D. PENUTUP
Dari refleksi perjalanan praktek kerjasama antar daerah ditemukan cukup banyak pengalaman dari kerjasama antar daerah yang berdekatan yang dikerangkai kelembagaan regional manajemen. Kasus di Jawa Tengah menemukan temuan bahwa kerjasama dalam pemenuhan pelayanan umum (pelayanan public) dilakukan setelah memiliki pengalaman pemasaran bersama berdasarkan potensi dan keunggulan daerah yang trergabung dalam regional management dengan kelembagaan yang relative permanen..
Dalam merevitaliasi kerjasama antar daerah diperlukan sejumlah usaha mulai dari tingkat nasional berupa scenario yang tegas yang tertuang dalam konsistensi pengaturan. Regulasi terakhir (Permendagri No 22 dan 23 tahun 2009 belum dapat mengakomodir keberadaan lembaga kerjasama yang telah memiliki sejarah panjang di Indonesia. Regulasi tersebut hanya cocok untuk rintisan kerjasama terurata yang tidak terwadahi dalam kelembagaan kerjasama antar daerah yang relative permanen). Upaya berikutnya adalah mereposisi peran pemerintgah provinsi serta penguatan semangat kolaborasi dari kerjasama yang bersifat sukarela,melalui mekanisme hubungan dan pengaturan yang setara.

Senin, 26 Oktober 2009

RINGKASAN DISERTASI KERJASAMA ANTAR DAERAH

REGIONALISASI DAN MANAJEMEN
KERJASAMA ANTAR DAERAH
(Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah Yang Berdekatan di Jawa Tengah)

Ringkasan Disertasi


Oleh :
Hardi Warsono
No. Mhs. 05/1645/PS


PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA
2009

TIM PROMOTOR :
1. Prof. Dr. Warsito Utomo
2. Prof. Y. Warella, MPA., PhD.
3. Prof. Dr. Yeremias T. Keban, MURP

TIM PENILAI :
1. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP
2. Dr. R. Rijanta, M.Sc.,
3. Prof. Dr. Prasetyo Soepono, MBA

TIM PENGUJI :
1. Dr. Agus Pramusinto, M., Dev., Admin.,
2. Dr. Ambar Widaningrum, MA




KATA PENGANTAR dan UCAPAN TERIMAKASIH
Kerjasama antar daerah (intergovernmental management) merupakan fenomena yang marak mendapat perhatian di Jawa Tengah seiring mulai surutnya hiruk pikuk reformasi politik. Regionalisasi tata ruang dapat menjadi pijakan awal kerjasama antar daerah. Oleh beberapa penyelenggara pemerintahan yang tergabung dalam sebuah region, regionalisasi tata ruang di Jawa Tengah dapat berkembang menjadi kerjasama antar daerah dan terbentuk manajemen regional, seperti misalnya Barlingmascakeb, dan Subosukawonosraten.
Urgensi lembaga kerjasama regional memang tidak mendapat respon yang sama bagi semua kabupaten/kota. Selain yang telah melaksanakan kerjasama intensif, beberapa kabupaten/kota yang tergabung dalam region lainnya tidak merasa perlu. Perda Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah nomor 21 tahun 2003 telah menetapkan delapan (8) region sebagai kawasan prioritas. Namun demikian regionalisasi yang telah dikukuhkan tersebut keberadaan tidak jelas. Mengingat pentingnya pelaksanaan kerjasama antar daerah sebagai media optimalisasi sinergi potensi dan mengatasi masalah antar kabupaten/ kota yang berdekatan, penulis merasa perlu mengangkat tema ini ke dalam penulisan disertasi. Bagi penulis, awalnya melihat fenomena ini seperti memasuki rimba yang tak diketahui harus mulai dari mana dan berujung dimana. Inilah yang memberikan tantangan besar untuk terus mencari dan mencari sehingga dapat tersaji seperti paparan disertasi ini.
Alhamdulillah pada akhirnya keinginan penulis untuk mengangkat kompleksitas pelaksanaan kerjasama antar daerah yang berdekatan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami merasa sangat perlu menyampaikan terimakasih yang terdalam pada semua pihak, khususnya kepada :
1. Prof. Dr. Warsito Utomo, sebagai promotor utama yang dengan profesional, sabar, dan teliti memberikan bimbingan dan motivasi untuk terus menulis dan membuat target-target capaian ketika penulis mulai memasuki saat-saat kebimbangan dan kejenuhan. Untuk ini penulis merasa tidak akan pernah cukup meski berjuta terimakasih telah terucap,
2. Prof. Drs. Y. Warella, MPA., PhD., selaku co-promotor memberikan berbagai masukan sebagai pengkayaan materi dan sebagai atasan penulis yang terus menerus memberikan dukungan baik moril dan materiil agar pendidikan S3 yang sedang ditempuh penulis segera dapat terselesaikan dengan baik,
3. Prof. Dr. Yeremias T. Keban, selaku co-promotor yang teliti memberikan koreksi diantara kesibukan yang luar biasa. Beliau banyak memberikan inspirasi dan pengkayaan teori sejak penulis menempuh pendidikan S2 sampai S3,
4. Pengajar mata kuliah penunjang dan tim penilai ujian komprehensif yakni Dr. Erwan Agus Purwanto, Prof. Dr. Nasikun, Dr. Irwan Abdulah, Prof. Dr. Muhajir Darwin, Dr. Samudra Wibawa (sekaligus pengelola S3 Administrasi Negara Fisipol UGM), yang memberikan warna dan penajaman pada proposal disertasi,
5. Tim Penilai Kelayakan Disertasi yang terdiri dari Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP., Dr. R. Rijanta, M.Sc., dan Prof. Dr. Prasetyo Soepono, MBA., dan Tim Penguji Disertasi yakni Dr. Agus Pramusinto, M.Dev.Admin., dan Dr.. Ambar Widaningrum, MA yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya,
6. Rektor Undip, Dekan Fisip Undip, Ketua Program Studi Administrasi Publik serta Ketua dan pengelola Prodi Magister Administrasi Publik (MAP) Undip yang telah memberikan ijin belajar, serta semua sejawat pengajar di Jurusan Administrasi Publik Fisip Undip yang telah berbesar hati memberikan kesempatan dengan berbagai tugas dan dorongan saat penulis mengikuti pendidikan S3,
7. Segenap rekan di Bappeda Provinsi Jawa Tengah (Arief Wahyudi, Eny, dkk), Drs Kunto Nugroho, Msi., sebagai alumni MAP Undip dan Kepala Biro Kerjasama Pemprov Jateng (tahun 2007), ibu Ir. Yuni Astuti, MA., Kepala Biro Otonomi dan Kerjasama Provinsi Jawa Tengah (mulai tahun 2008), Kepala Bakorlin I, II dan III Provinsi Jawa Tengah, juga segenap rekan di LSM Lekad (Lembaga Pengembangan Kerjasama Antar Daerah) Semarang, khususnya bapak Benjamin Abdurahman, bapak Wisnu Pradoto, dkk., bapak Syahroni, Direktur GTZ GLG Jawa Tengah yang sering menjadi partner diskusi, serta beberapa alumni Magister Administrasi Publik (MAP) Undip yang karena kedudukannya di birokrasi turut membantu kelancaran pengumpulan dan sekaligus sebagai informan penelitian,
8. Segenap informan penelitian, antara lain : beberapa ketua Bappeda Kab / Kota di Jateng, Drs. H. A., Antono, Msi. (Bupati Pekalongan saat pembentukan regional manajemen Sampan) sebagai sahabat sekaligus teman diskusi, Bpk. Paul Lukas (Regional Manajer Barlingmascakeb), Bpk. Budiono (Regional Manajer Sampan), Drs. H. Soemarmo, HS., Msi. (Ketua alumni MAP Undip dan Sekda Kota Semarang) dan pengelola Kedungsepur yang telah memberikan banyak masukan, serta segenap informan yang berasal dari pelosok kabupaten/kota di Jawa Tengah yang tidak dapat disebutkan satu demi satu,
9. Ungkapan terimakasih juga kami haturkan pada ibunda kami serta bapak mertua kami, Bp. H. Drs. Nurachmad yang memberikan ijin dan turut menunggui cucu ketika harus sering kami tinggalkan
10. Terimakasih yang sangat dalam juga kami sampaikan kepada istri tercinta yang selalu memberikan do'a dan dorongan bahkan sempat membantu menyusun daftar isi di tengah semua orang sedang istirahat, serta anak-anak yang rela sering ditinggalkan ke yogya,
11. Terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh staf MAP UGM dan MAP Undip, Sekolah Pascasarjana UGM,
12. Ibu Samadi dan para tetangga yang memberikan suasana nyaman selama berada di Yogyakarta,
13. Segenap kerabat dan kolega baik dari jurusan Adm Publik, Pemerintahan, Adm. Bisnis dan Komunikasi serta semua sahabat dari berbagai kalangan yang telah bersedia menghadiri sidang terbuka, atas dukungan hadirin kami dapat melaksanakan kegiatan ini, serta
14. semua pihak yang telah memberikan andil dalam penulisan disertasi yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu.

Semoga jasa beliau-beliau yang kami sebutkan di atas mendapatkan balasan yang lebih besar dari Alloh SWT. Amiin.
Semarang, Pebruari 2009
Penulis



A. Latar Belakang
Ada empat kondisi yang melatarbelakangi permasalahan dalam disertasi ini. Pertama, melemahnya koordinasi tingkat regional. Kesan berjalan sendiri-sendiri dan kurang terkoordinasi secara regional pada penyelenggaraan pembangunan antar kabupaten / kota sangat nampak sejak dilaksanakannya Undang-Undang Pemerintahan di Daerah tahun 1999 yang kemudian mendapatkan revisi tahun 2004. Menurunnya intensitas koordinasi manajemen regional ini mendapat penguatan dari kenyataan bahwa titik berat pelaksanaan otonomi daerah berada di kabupaten / kota. Kendali pemerintah provinsi sebagai koordinator pembangunan kabupaten / kota mengendor seiring penguatan otonomi di tingkat kabupaten kota. Akibat selanjutnya isu-isu pembangunan regional menjadi kurang mendapatkan perhatian yang optimal.
Kedua, kurangnya ruang untuk manajemen regional pada hirarkhi perundangan. Tata penyelenggaraan pemerintahan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kurang memberikan tempat yang tegas pada pengurusan permasalahan regional tersebut. Hal ini nampak pada dua fenomena berikut. Pertama, pembagian wilayah administratif di Indonesia tidak secara eksplisit menunjukkan pengurusan wilayah antar kabupaten / kota. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (pasal 2 ayat (1)). Kedua, kurangnya tempat bagi penyelenggaraan pembangunan lintas kabupaten/kota ini juga diperkuat dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diundangkan tahun 2004 . Aturan tersebut tidak secara jelas memberikan tempat bagi forum perencanaan pembangunan kewilayahan yang berada pada lebih dari satu wilayah kabupaten / kota dalam satu wilayah provinsi. Sementara itu banyak isu kewilayahan mendesak untuk terus diselesaikan melalui mekanisme koordinasi dan kerjasama antar daerah yang berdekatan.
Ketiga, kurang tertanganinya dengan baik masalah atau konflik horizontal antar kabupaten / kota yang berdekatan. Menguatnya otonomi menjadi perubahan yang fenomenal di Indoensia, sejak tahun 1999. Tanpa pembagian kewenangan dan ruang gerak yang cukup bagi pemerintah lokal merupakan ciri utama dari sentralisasi pemerintahan. Karakteristik tersebut juga dikemukakan Harry Friedman yang menegaskan bahwa ”adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah merupakan penanda adanya desentralisasi”. Namun dalam catatan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, unsur etnosentrisme yang membentuk egoisme lokal menyertai kebebasan tersebut . Dengan makin menguatnya otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota menyebabkan masing-masing pemerintah lokal merasa semua harus dan bisa ditentukan dan dilakukan sendiri. Implikasi lanjut banyak potensi konflik dibiarkan berkembang tanpa kerjasama dalam penanganan bersama. Fenomena etnosentrisme yang mengekspresikan egoisme lokal ini makin menjadi-jadi seiring makin melemahnya koordinasi antar daerah yang dulunya secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Fenomena ego lokal terlihat pada kasus-kasus penanganan konflik yang terjadi karena hubungan dua atau lebih daerah kabupaten kota yang berdekatan pada isu-isu tertentu, baik isu pemanfaatan sumberdaya alam khususnya penanganan isu lingkungan.
Keempat, masih kaburnya kondisi region hasil regionalisasi tata ruang di Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah ”mengatur pembentukan region” sejak masa orde baru. Selain regionalisasi yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Perda Tata Ruang Nomor 21/thn 2003 – yang disebut kawasan prioritas - , terdapat lembaga kerjasama antar daerah yang muncul dari regionalisasi sendiri, tanpa dukungan Perda sebelumnya. Region ini meliputi beberapa kabupaten dan kota, seperti misalnya Banjarkebuka (Banjarnegara, Kebumen dan Pekalongan), dan Sampan (Sapta Mitra Pantura). Keberadaan lembaga-lembaga tersebut secara keseluruhan masih kabur.
Banyak ragam kerjasama antardaerah. Pembatasan kajian disertasi ini dilakukan pada jenis dan cakupan lokasinya. Terdapat beberapa jenis/ bentuk kerjasama antara lain : kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan, kerjasama dengan pihak ketiga dan kerjasama yang bersifat massal. Dari jenisnya pembatasan kajian dilakukan pada organisasi kerjasama antar darah yang berdekatan (kerjasama regional). Dengan batasan jenis kerjasama ini, jenis kerjasama antadaerah lain seperti APKASI, APKESI, APPSI, ADKASI, ADEKSI, ADEPSI, Sister City serta kawasan-kawasan khsusus yang menggunakan pendekatan cluster tidak termasuk dalam fokus kajian. Dari lokasinya dibatasi pada kerjasama antar daerah yang berdekatan yang berada di wilayah Jawa Tengah. Kerjasama regional lintas wilayah provinsi seperti : Pancimas (Jateng-DIY), Java Promo (Jateng-DIY), ataupun Ratubangnegoro (Jateng-Jatim) tidak termasuk dalam kajian. Jawa Tengah dipilih karena provinsi ini memiliki kerjasama regional paling banyak.
Ke empat kondisi yang melatarbelakangi masalah di atas sekaligus menjadi alasan pemilihan judul disertasi ini, yakni : ”Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah” (Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah Yang Berdekatan di Jawa Tengah).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini memfokus pada upaya mencari jawab terhadap pertanyaan pokok: ”bagaimanakah variasi regionalisasi dan model lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah?” Pertanyaan pokok tersebut kemudian terjabar dalam tiga (3) permasalahan lanjut, yakni :
1). Bagaimana proses pembentukan region (regionalisasi) dan perkembangan lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah?
2). Faktor pencetus apa yang dapat mendorong proses pembentukan region (regionalisasi) menuju kerjasama regional dan faktor apa yang dapat mendukung dan menghambat proses perkembangan kerjasama regional di Jawa Tengah?,
3). Bagaimanakah format kelembagaan kerjasama regional ke depan?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat
Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan variasi regionalisasi dan lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah, yang kemudian dielaborasikan ke dalam enam (6) tujuan berikut : (i) mempetakan regionalisasi dan lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah, (ii) mendeskripsikan proses regionalisasi, kerjasama regional serta perkembangan lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah (iii) mendeskripsikan dinamika lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah (iv) menjelaskan faktor pencetus yang menyebabkan regionalisasi dapat berkembang menjadi kerjasama regional (v) menjelaskan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat perkembangan kerjasama regional di Jawa Tengah, dan (vi) menyusun format kelembagaan kerjasama regional yang komprehensif ke depan.
Manfaat teoritis secara umum nampak dari belum banyaknya bahasan tentang intergovernmental management dan intergovernmental relations di Indonesia. Topik ini mulai mengemuka pada literature dan tulisan para pakar public management mulai pertengahan abad 20 (O,Toole,2004;McGuire , 2006). Secara khusus ada 2 fenomena teoritis, yakni pertama, pentingnya pergeseran pendekatan organisasi kerjasama antar daerah dari konsep intra organization ke arah interorganization. Kedua, pendekatan kerjasama antar daerah yang karena struktur hubungannya yang merupakan “relasi horisontal” dari bersifat voluntary ke arah semangat kolaborasi yang lebih punya kekuatan dalam collective action. Kajian tentang regionalisasi dan kerjasama antar daerah, khususnya kerjasama antar daerah yang berdekatan di Indonesia belum banyak mendapat perhatian, sehingga diharapkan kajian ini mengisi kekurangan kajian Management and Intergovernmental di Indonesia.
Dalam domain praktis belum juga banyak ditemukan kejelasan kebijakan yang dapat digunakan sebagai pedoman serta referensi praktis untuk menyelenggarakan kerjasama dan membentuk lembaga kerjasama antar daerah yang berdekatan. Kajian ini merunut konsistensi kebijakan kerjasama antar daerah. Manfaat lain diperoleh dari penyusunan model kerjasama regional, dengan memberikan alternatif pilihan baik bentuk kerjasama maupun model kelembagaannya pada pengelolaan manajemen regional yang kurang mendapatkan ruang pada sistem perencanaan pembangunan nasional.
D. Keaslian Penelitian
Ada beberapa sudut pandang pada kajian regional. Dari penelusuran yang dilakukan ditemukan bahwa kajian regional didominasi oleh penelitian tentang pertumbuhan ekonomi regional termasuk di dalamnya ketimpangan regional, income percapita dan sedikit lagi tentang pemaknaan istilah regionalism. Penelitian dalam disertasi ini memiliki focus berbeda dengan kebanyakan tulisan regionalisasi terdahulu yakni pada titik berat proses pembentukan region dan manajemen kerjasama regional.
E. Tinjauan Pustaka
Pendekatan wilayah dianggap sebagai pelengkap penting dalam penyelenggaraan pembangunan disamping pendekatan pembangunan daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan wilayah - khususnya kerjasama antar daerah yang berdekatan - inilah berbagai kondisi, baik praktical maupun teoritical terjadi. Dalam domain praktis tercatat menguatnya kebijakan desentralisasi, sedangkan pada domain teoritis antara lain terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam literature kerjasama antar daerah (intergovernmental management) juga terjadi pergeseran semangat dari yang sekedar co-operation ke arah semangat collaboration. Secara umum pergeseran-pergeseran tersebut terjadi dari pendekatan sentralistis ke desentralistis.
Beberapa kajian membahas proses regionalisasi dan kerjasama antar daerah. Goggin menjelaskan pada The Communications Model of Intergovernmental Policy Implementation sejumlah faktor yang mendukung (inducement factors) dan menghambat (constraint factors) dalam kerjasama regional pada berbagai level pemerintahan, sementara Weichhart lebih tegas mengemukakan sejumlah faktor yang berperan dalam proses regionalisasi dan kerjasama antar daerah antara lain : tekanan global, keterbatasan kemampuan dan potensi serta ego lokal.
Kerjasama antar daerah merupakan aksi bersama (collective action) yang terjadi dalam proses unik. Keunikan kerjasama antar daerah ini terlihat dari antara lain : pola hubungan yang terjalin dilandasi oleh relasi horisontal, bukan hirarkhial. Konsekuensi dari pola hubungan ini akan berimplikasi pada pendekatan yang semestinya dipahami bersama oleh aktor yang terlibat. Kesalahan pemahaman dan pemberlakuan model organisasi konvensional berakibat fatal pada manajemen kerjasama antar daerah, yakni jebakan birokratisme dalam kerjasama antar daerah. Pendekatan konvensional memandang organisasi dengan pendekatan birokrasi Weberian (intra organization), sedangkan kerjasama antar daerah bersifat intergovermental networking lebih tepat didekati dengan konsep inter organization.
F. KONSEPTUALISASI PENELITIAN
F.1. REGIONALISASI
Dalam bahasa Indonesia, region ini biasa dipergunakan padanan kata dari wilayah. Istilah region dipergunakan untuk menyebut ruang geografis yang menunjukkan keterlibatan ruang (spatial) beberapa wilayah administratif, baik sebagian maupun seluruhnya . Pengertian Region dalam koteks Supra-nasional misalnya : Uni Eropa, Asean dan sebagainya. Dalam konteks Trans-nasional: Sijori (Singapur-Johor-Riau, IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle) dan lain-lain, sedangkan dalam konteks Sub-nasional: Solo Raya, Barlingmascakeb (Jawa Tengah), Ciayumajakuning (Jawa Barat) dan lain-lain.
Regionalisasi memiliki dua makna, yakni : proses pembentukan region dan salah satu klasifikasi teori. Sebagai konsep pembentukan region, regionalisasi berarti tahapan atau prosedur penggabungan beberapa daerah otonom dalam sebuah kesatuan secara geografis. Sebagai teori, yakni teori regionalisasi, menjelaskan hubungan berbagai konsep pembangunan berbasis wilayah (Rustiadi , 2004).
Berbeda dengan konsep regionalisasi yang cakupannya lebih luas, clustering strategy nampak lebih fokus pada pengelompokan industri pada wilayah tertentu yang terdiri dari beberapa perusahaan dalam sektor yang sama. Dengan kalimat lain, cluster merupakan sekelompok perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi serta bersifat complementaris. Clustering bukan termasuk bahasan dalam disertasi ini.
F.2. KERJASAMA ANTAR DAERAH
Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan kolaborasi masih digunakan secara bergantian, dan belum ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan kedalaman makna dari istilah tersebut. Secara umum lebih dikenal istilah kerjasama dari pada kolaborasi, dan tidak ada pemahaman yang lebih mendalam tentang paradigma apa yang seharusnya dianut.
Kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental cooperation), didefinisikan sebagai “an arrangement between two or more governments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem” (Patterson , 2008). Dalam definisi ini tersirat adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Atau dengan kata lain, pengaturan ini bersifat pengaturan bersama (joint), yang tentu saja berbeda karakteristiknya dibandingkan dengan pengaturan sendiri (internal daerah). Sifat kerjasama sering ditafsirkan sebagai sukarela, tetapi bukan berarti semaunya, karena kerjasama memiliki tujuan dan target tertentu yang harus dicapai oleh pihak-pihak yang bekerja sama. Karenanya, aspek-aspek yang dikerjasamakan dituangkan dalam program resmi dengan manfaat yang dinikmati bersama, serta biaya dan risikonya ditanggung bersama. Sementara itu, kerjasama dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional kerjasama dimaknai sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau lembaga untuk mencapai tujuan bersama (2001;544). Jadi dalam kerjasama ada unsur kegiatan, beberapa pihak dan pencapaian tujuan.
Kolaborasi dapat dirunut pemahamannya dari Ann Marie Thomson (2006) dalam tulisannya yang berjudul ”Collaboration Processes : Inside the Black Box”. Dijelaskan bahwa ada sebuah konsep yang mirip dengan kerjasama tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yakni kolaborasi. Kooperasi, koordinasi dan kolaborasi berbeda dalam hal tingkat kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan kompleksitasnya. Sebuah kerjasama (co-operation) yang menggabungkan 2 sifat, yakni saling memberi atau bertukar sumberdaya dan sifat saling menguntungkan akan mengarah pada sebuah proses kolaborasi. Definisi ini menunjukkan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan yang lebih tinggi dalam kolaborasi daripada kooperasi dan koordinasi. Kolaborasi merupakan proses kolektif dalam pembentukan sebuah kesatuan yang didasari oleh hubungan saling menguntungkan (mutualisme) dan adanya kesamaan tujuan dari organisasi atau individu-individu yang memiliki sifat otonom. Mereka saling berinteraksi melalui negosiasi baik bersifat formal maupun informal dalam suatu aturan yang disepakati bersama dan rasa saling percaya. Walaupun hasil atau tujuan akhir dari sebuah proses kolaborasi tersebut mungkin bersifat pribadi, tetapi tetap memiliki hasil atau keuntungan lain yang bersifat kelompok.
Walaupun kooperasi dan koordinasi mungkin dapat dilihat dalam awal sebuah proses kolaborasi, kolaborasi merupakan perwujudan dari proses integrasi antar individu dalam jangka waktu panjang melalui kelompok-kelompok yang melihat aspek-aspek berbeda dari suatu permasalahan. Kolaborasi mengeksplorasi perbedaan-perbedaan diantara mereka secara konstruktif . Mereka mencari solusi yang mungkin dan mengimplentasikannya secara bersama-sama.
Kolaborasi berarti pihak-pihak yang otonom berinteraksi melalui negosiasi baik secara formal maupun informal. Mereka bersama menyusun struktur dan aturan pengelolaan hubungan antar mereka. Mereka merencanakan tindakan atau keputusan untuk mengatasi isu-isu yang membawa mereka bersama-sama. Mekanisme tersebut merupakan interaksi yang menyangkut sharing atas norma dan manfaat yang saling menguntungkan. Pengertian di atas merupakan definisi kolaborasi yang dikembangkan Thomson dari Wood dan Gray (1991).
Di masa mendatang, perbedaan makna dan paradigma ini seharusnya diakomodasikan tidak hanya dalam tulisan ilmiah tetapi juga dalam naskah peraturan hukum karena secara konseptual kerjasama dalam arti “collaboration” jauh lebih efektif dibandingkan dengan “cooperation”, dan harus diarahkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
Ada dua pola hubungan antar pemerintah daerah, yakni intergovernemental relation dan intergovernmental management yang keduanya mengedepankan karakter networking. Intergovernmental relations merupakan sebuah pola oraganisasi antar daerah yang hanya memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama, sedangkan Intergovernmental Management merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan transportasi umum di Washington State).
Networking merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari beberapa unit organisasi yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif flexible. Dalam format networking, beberapa jenis intergovernmental networks, sesuai urutan derajat networksnya dikemukakan oleh Robert Agranoff (2003), mulai dari (i). information networks, yakni jenis jaringan kerjasama yang paling ringan derajatnya. Pada jenis ini beberapa daerah kabupaten / kota dapat membuat sebuah forum yang berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama (ii) developmental networks, yakni kaitan antar daerah terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah untuk mengatasi masalah di daerah masing-masing, (iii) outreach networks adanya penyusunan program dan strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner) serta (iv) action networks : yang merupakan bentuk intergovernmental networks yang paling solid. Dalam bentuk ini daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program aksi bersama sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing.
G. TEORITISASI PENELITIAN
G. 1. TEORI REGIONALISASI
Proses pembentukan region atau regionalisasi paling tidak dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni : pertama, atas dasar homogenitas atau kriteria deliniasi region dan yang kedua, regionalisasi dipandang dari insiatif dalam proses pembentukannya. Kajian teori yang membahas dasar pembentukan region dalam teori regionalisasi diawali dari bahasan paling klasik yakni dari Richardson (1969); Hagget, Cliff dan Frey (dalam Rustiadi, 2004 et.al) yang menerangkan kriteria deliniasi dari sebuah region. Kawasan (region) dideliniasi berdasarkan konsep kesamaan (homogenitas) tertentu menjadi 3 kategori, yaitu : Homogeneus region, nodal region dan planning region. Teori regionalisasi klasik tersebut mendapatkan penguatan dari pendapat Blair ; (1991). Secara umum wilayah dapat dikategorikan menjadi tiga (3) yakni wilayah homogen, wilayah sistem/fungsional dan wilayah administratif.
Selain dapat dipandang sebagai proses pembentukan region atas dasar kesamaan (homogenitas), regionalisasi dapat dilihat dari inisiatif proses pembentukan ikatan dan keterikatan antar daerah otonom. Weichhart (2002) menegaskan bahwa perkembangan dan proses globalisasi struktur real economy semakin kuat beralih ke regional. Artinya hanya region sebagai lokasi strategis yang dapat memiliki keunggulan komparatif dan dapat menekan biaya tinggi karena interaksi sosio-ekonomi dapat terstruktur dan tumbuh efisien.
Regionalisasi (konteks Sub-nasional) adalah proses terbentuknya kesatuan wilayah administratif yang terdiri beberapa daerah otonom ke dalam kerjasama atau koordinasi pembangunan. Proses ini terdiri dari 2 jenis, yakni :
(1). Regionalisasi sentralistik: proses terjadinya region melalui prosedur formal (azas demokrasi) dengan legitimasi pelaksanaan top-down, seperti UU, SK, Keppres dsb. (Pembentukan Daerah, Kawasan Andalan, KAPET, dsb)
(2). Regionalisasi desentralistik: proses terjadinya region melalui proses/azas musyawarah berdasarkan komitmen bersama antar daerah otonom (saling ketergantungan/kepentingan sama/saling membutuhkan)
Regionalisasi sentralistik digerakkan oleh kebijakan dari atas, sedangkan desentralistik oleh : komunikasi, kerjasama dan koordinasi antar daerah. Pengarah gerak pada regionalisasi sentralistik adalah lembaga perencana, sedangkan pada regionalisasi desentralistik lebih diarahkan oleh platform Kerjasama yang telah menjadi komitmen yang bersifat non formal. Sementara pada regionalisasi sentralistik berupa program dan bersifat formal. Satu hal yang sangat membedakan konsep regionalisasi sentralistik dan desentralistik adalah pondasi kerjasama, yakni : potensi dan keunggulan pada regionalisasi sentralistik, sedangkan pada regionalisasi desentralistik berupa potensi dan kekuatan endogen.
Pada regionalisasi sentralistik, faktor kewenangan yang bersifat “direktif-koordinatif” merupakan komponen kuat dan dimiliki oleh lembaga otoritas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Melalui prosedur direktif (struktural-hirarkis) perencanaan dan pembangunan dilakukan pada kelembagaan regional saat ini. Pada proses pembentukan eks karesidenan yang sekarang bernama Bakorlin (Badan Koordinasi Lintas Kabupaten/Kota), yang terdiri dari beberapa daerah administratif dapat terlaksana karena mekanisme formal struktural tata pemerintahan waktu itu. Region hasil regionalisasi struktural-administratif terbentuk atas landasan perintah (ex mandato) berdasarkan kepentingan pemerintah tingkat atas (Provinsi).
G.2. TEORI KERJASAMA ANTAR DAERAH
Kerjasama regional dapat dirunut dalam pokok-pokok bahasan manajemen publik, khususnya intergovernmental management dalam literartur dunia. Bahasan tentang intergovernmental management dan intergovernmental relations banyak mengemuka pada literature dan tulisan para pakar public management mulai pertengahan abad 20 (McGuire , 2006; O,Toole ,2004). Michael McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana Bloomington yang juga pengajar Public Management and Intergovernmental Management mengungkapkan bahwa “intergovernmental management is more than just intergovernmental relationships”. Pendapat yang lebih tegas menyebutkan bahwa managemen antar daerah adalah inti dari hubungan antar daerah.
Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan kerjasama antar daerah, terjadi transisi pendekatan dalam melihat lembaga kerjasama antar daerah. Lembaga kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi oleh paradigma klasik. Cara pandang yang melihat lembaga kerjasama antar daerah dalam kerangka intra organization, dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini tercermin dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang dikemukakan oleh Martin Albrow (2004). Ciri menonjol dari birokrasi Weberian ini adalah hirarkhial yakni pola hubungan yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan. Penerapan prinsip-prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas, impersonal ini cenderung inward looking atau dengan parameter intra organization. Cara pandang terhadap lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi kurang tepat karena sifat yang terbentuk dari kerjasama antar daerah (intergovernmental management), adalah relasi horisontal yang lebih mengedepankan networking / inter organization.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa terjadi sejumlah perubahan pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : perubahan dari orientasi lembaga pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian menjadi berorientasi pada small dan less government, egalitarian dan demokratis, perubahan dari orientasi sistem pemerintahan yang sarwa negara ke orientasi sistem pasar (market), perubahan dari sentralistis kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan, perubahan menajemen pemerintahan yang menekankan batas-batas dan aturan yang berlaku hanya untuk satu negara saja, ke arah boundaryless organization, akibat globalisasi, perubahan dari tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureucratic government (Rouke , 1992), dan post bureucartic organization (Heckscher dan Donnellon , 1994), atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (physical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan yang berdasarkan logical structure (Henry Lucas, 1996 (dalam Keban,2009), dan perubahan dari a low trust society ke arah a high trust society (Fukuyama , 1995).
Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi horisontal yang berbasis intergovernmental network pada tingkatan daerah sangat berbeda karakter dengan organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola organisasi rasional menekankan pola hubungan hierarkhis yang melihat organisasi kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat. (Arie Ruhyanto dalam Pratikno, 2007;50). Kerjasama antar daerah yang berpola networking didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan mandiri dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola networking tidak ada struktur kewenangan sentral. Semua tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari semua anggota yang tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam Kickert , dan kawan-kawan,1999). Perbedaan karakter organisasi ini sering rancu dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi sentralistis cukup lama.
Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam regionalisasi dan kerjasama regional dapat dirunut dari proses regionalisasi dan model komunikasi antar daerah. Dari runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah, antara lain, Goggin (1990), Weicchart (2002); O 'Toole (2004); Thomson (2006); Rendell serta Yablonsky (2006) dan Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009) , (2006). Bila Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor pendukung dan penghambat kerjasama antar daerah yang bekerja pada beberapa level pemerintahan, Weicchart (2002) telah secara tegas menyebut antara lain : tekanan global, tekanan keterbatasan kemampuan dan potensi serta tekanan ego lokal. Elaborasi lanjut diberikan oleh O 'Toole (2004) yang menekankan pentingnya keselarasan antara stabilitas struktur organisasi dan manajerial. Pada periode waktu selanjutnya secara mengejutkan Thomson memberikan pemahaman konsep yang lebih dalam dari kerjasama antar daerah dengan mengenalkan semangat kolaborasi beserta dimensi-dimensi yang mendukungnya. Ada 5 dimensi kolaborasi antar daerah yakni pemerintahan, admininistrasi, otonomi, mutualisme dan reciprocitas. Sementara itu Rendell serta Yablonsky; Bryson, Crosby dan Stone, memberikan pengkayaan pada mekanisme kerjasama antar daerah dengan memberikan saran tentang tahapan membangun kerjasama dan unusr-unsur yang harus diperhatikan dalam kerjasama antar daerah.
Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di beberapa Negara dapat ditemukan bentuk kerjasama dan pola kelembagaannya . Bentuk dan metode kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (Henry , 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.
Pengalaman kerjasama antar daerah yang diberlakukan di: SALGA di Afrika Selatan, Sound Transit di Washington, LAA di Korsel, LCP di Philipina dan Cor di Uni Eropa memberikan beberapa kesimpulan antara lain : paradigma penyelenggaraan pemerintahan nasional sangat berpengaruh pada karakter kerjasama antar daerah. Hanya pada negara dengan praktek demokrasi yang baik, kepentingan lokal dapat diperjuangkan pada asosiasi kerjasama antar daerah yang bersifat regional, dan kemudian dapat dicatat juga bahwa kerjasama antar daerah memerlukan payung hukum yang kuat mulai dari tingkat nasional sampai ke level daerah serta kejelasan aturan kelembagaan Sangat diperlukan dalam kesinambungan kegiatan kerjasama.
Saat ini di negara-negara maju mencanangkan kerjasama dalam konteks kolaborasi bidang perencanaan dan manajemen emergensi, bahkan menjadi fundasi penting dalam menangani bencana alam dan krisis lingkungan. Kolaborasi bahkan menjadi model alternatif untuk menggantikan model birokrasi klasik yang bersifat top down karena merupakan model yang mengandalkan jejaring yang fleksibel dan dinamis ( Waugh & Streib, 2006). Fungsi kolaborasi menjadi lebih diandalkan dari pada fungsi atau upaya melakukan adaptasi dalam menghadapi berbagai perubahan (Jenkins, 2006).
Pelajaran yang diperoleh dari praktek kerjasama antar daerah di berbagai negara tersebut adalah adanya beberapa format lembaga kerjasama yang dapat menjadi referensi bagi pengembangan kerjasama regional di Jawa Tengah, antara lain;
a. Ada dua (dua) format lembaga kerjasama, yakni : IGR dan IGM. Konsep IGR yang memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama (tidak disebutkan secara spesifik di Amerika, dan di Afrika Selatan), sedangkan IGM memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan transportasi umum di Washington State).
b. Arah pengembangan peran lembaga kerjasama berpolar dalam dua arah, yakni : sebagai interest group dari kepentingan regional terhadap pemerintah pusat (seperti Philipina) atau sebagai kepanjangan pemerintah pemerintah pusat dan sebagai pengendali kepentingan pusat di level regional (seperti di Korea Selatan).
c. Ada kecenderungan menguatnya semangat kolaborasi dalam literatur dan praktek kerjasama antar daerah
H. Metode Penelitian
Sejalan dengan pendapat Robert K. Yin, penelitian ini memilih studi kasus yang dilengkapi dengan beberapa teknik pengumpulan data untuk mencapai tujuan penelitian. Yin menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan ”bagaimana” dan ”mengapa” pada dasarnya lebih eksplanatoris dan lebih mengarah ke penggunaan strategi-strategi studi kasus, historis dan eksperimen. Yin juga menegaskan bahwa penggunaan lebih dari satu metode atau strategi dalam sebuah penelitian, misalnya survei dalam studi kasus atau sebaliknya studi kasus dalam survei (Yin , 2004; 13). Dalam kaitan seperti ini berbagai strategi tidaklah saling mengecualikan. Kelebihan dari pemilihan strategi studi kasus adalah : pertanyaan ”bagaimana” dan ”mengapa” akan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, di mana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak mempunyai peluang sama sekali untuk melalkukan kontrol terhadap peristiwa tersebut.
Sebagai penelitian kasus, data dikumpulkan dengan mengungkap fenomena-fenomena yang menjadi fokus penelitian. Karena menggunakan triangulasi teknik. Triangulasi teknik dilakukan dengan mengkombinasikan teknik pengumpulan data: wawancara mendalam, teknik kuesioner, analisis data sekunder, penelusuran website, pelibatan dalam pendampingan dalam rintisan kerjasama, dan forum-forum seminar/lokakarya serta penelusuran berita pada media cetak atas topik yang relevan.
I. Temuan Penelitian
I.1. Peta Regionalisasi dan Kerjasama Regional
Ada tiga (3) variasi dalam regionalisasi dan kerjasama regional di Jawa Tengah, yakni : (i) regionalisasi tanpa kerjasama dengan pendekatan keruangan, (ii) regionalisasi dan kerjasama regional dengan pendekatan ekonomi (Regional Marketing) dan (iii) regionalisasi dan kerjasama regional dengan pendekatan koordinatif. Samapi tahun 2009 kerjasama dengan pendekatan pelayanan publik masih dalam tahap perintisan.
Regionalisasi keruangan didasarkan kebijakan provinsi (Perda Propinsi Jawa Tengah nomor 21 Tahun 2003) yang menghasilkan 8 Kawasan Prioritas, yakni Barlingmascakeb, Purwomanggung, Subosukowonosraten, Banglor, Wanarakuti, Kedungsapur, Tangkallangka, dan Bergas. Tiga ( 3 ) region diantaranya berkembang menjadi kawasan kerjasama regional dengan pembentukan lembaga kerjasama, yakni Barlingmascakeb, Subosukowonosraten, dan Kedungsapur. Sementara itu, ada 1 lembaga kerjasama yang dibentuk tidak berdasarkan Perda Tata Ruang Provinsi, (seperti yang lainnya) yakni Sapta Mitra Pantura (Sampan).
Dari 4 lembaga kerjasama regional yang ada secara umum memiliki 2 pola, yakni : Pola Intergovernmental Relation yakni kerjasama sebatas koordinasi pembangunan (Kedungsepur), dan Pola Intergovernmental Management, yakni memiliki program aksi bersama yang dikelola penuh oleh pelaksana kerjasama yang dipimpin oleh seorang Regional Manager (Barlingmascakeb, Subosukawonosraten dan Sampan).
I.2. Proses Pembentukan Region dan Kerjasama Regional
Secara umum ada dua cara pembentukan region di Jawa Tengah, yakni :
1). Regionalisai sentralistis yang diawali dengan kebijakan dari pemerintah lebih atas, (Perda Tata Ruang),
2). Regionalisasi desentralistis yakni region yang terbentuk tidak dengan diawali kebijakan pemerintah lebih atas.
Seperti di beberapa tempat lain di Indonesia, ada variasi lain dari kedua bentuk tersebut, yakni transformatis, yakni region yang awalnya dibentuk secara sentralistis, tetapi dalam proses berikutnya berevolusi dengan karakter desentralistis. Ciri utama yang nampak dari praktek regionalisasi sentralistis adalah prakarsa pembentukan region. Kasus di luar lokasi penelitian adalah transformasi JABOTABEK menjadi JABODETABEK. Sedangkan contoh untuk lokasi penelitian adalah SUBOSUKO menjadi SUBOSUKAWONOSRATEN, ataupun transformasi manajerial yang dialami BARLINGMASCAKEB. Pada proses regionalisasi sentralistis, umumnya dawali perjanian kerjasama antara pemerintah provinsi dengan provinsi lain atau dengan kabupaten / kota, sedangkan pada regionalisasi desentralistis umumnya perjanjian kerjasama hanya diantara kabpaten / kota terkait.
Ada beberapa faktor kunci berkembangnya regionalisasi tataruang menjadi kerjasama regional, yakni :
1. Adanya komunikasi lanjut untuk membentuk komitmen diantara Kabupaten/kota yang tergabung dalamregionalisasi
2. Ada inisiasi dari pihak ketiga (Perguruan Tinggi, LSM dan Bakorlin/Pemprov)
3. Adanya konsep manajemen regional yang akan dijadikan pijakan kerjasama regional



I.3. Dinamika Kerjasama Regional
Kesimpulan atas hasil survai yang bertujuan untuk mengetahui penilaian pemerintah daerah pada dinamika lembaga kerjasama regional menunjukkan bahwa pada umumnya daerah yang tergabung dalam lembaga kerjasama regional menilai positif keberadaan lembaga tersebut. Sikap positif ini terlihat dari penilaian bahwa lembaga kerjasama regional cukup efektif dalam melakukan promosi daerah. Fokus pada promosi daeHal ini telah sesuai dengan konsep dikembangkannya regional manajemen seperti diniatkan semula melalui daedrah ini sesuai program Regional development Strategic Plan (Red SP). Lembaga kerjasama seperti Sampan, Barlingmascakeb dan Subosukawonosraten (melalui PT Solo Raya Promosi) memfokuskan kegiatan pada aktivitas ini.
Dari lembaga kerjasama yang ada di Jawa Tengah, hanya Kedungsepur yang tidak fokus pada regional marketing. Dinamika pada kerjasama Kedungsepur nampak pada kegamangannya dalam melangkah keaarah regional management dari intergovernmental relation yang bersifat koordinatif. Pada lembaga kerjasama regional yang lain yang memfokuskan pada regional marketing, penilaian pada kerjasama pembangunan infrastruktur mendapatkan penilaian kurang dari daerah yang tergabung. Bila dicermati platform lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah yang ada, belum ada kerjasama yang berbasis pada pelayanan publik, termasuk pembangunan infrastruktur. Satu-satunya kelembagaan kerjasama yang ada pada pembangunan infrastruktur adalah Banjarkebuka yang bersifat sementara dan telah berakhir dengan telah terbangunnya jalan regional antara Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Pekalongan. Sementara satu-satunya lembaga yang masih ada yang belum berkonsep regional marketing yakni Kedungsepur bersifat koordinasi pembangunan dan belum ada kegiatan pembangunan riil bidang pelayanan publik, termasuk pembangunan infrastruktur.
Pengetahuan pelaku kerjasama tentang konsep manajemen regional yang dinilai cukup memadai baru sebatas pada pelaksana daerah dan pelaksana lembaga kerjasama sendiri, sedangkan stakeholders lain belum memadai. Dalam struktur organisasi lembaga kerjasama umumnya terwadahi dalam Forum Regional yang terdiri dari para Bupati dan Walikota serta Dewan Eksekutif ataupun Sekretariat Bersama yang dikelola oleh sekda, asisten I Tatapraja, Bagian Pemerintahan, dan Bappeda), sedangkan Pelaksana Lembaga Kerjasama Regional dalam struktur kelembagaan Kerjasama Regional umumnya dikenal dengan Regional Manajemen yang terdiri dari 2 atau 3 divisi dan beberapa staf).
I.4. Stimulan Pembentukan dan Pendinamisasi Kerjasama Regional
Pada regionalisasi sentralistis prakarsa pemerintah mendominasi proses. Pada regionalisasi desentralistis ada beberapa faktor pencetus (stimulan) proses pembentukan, yakni : (1). Kebutuhan masing-masing daerah untuk saling bekerjasama (2). Komitmen untuk membentuk kerjasama (3). Komunikasi dan koordinasi intensif (4). Fasilitasi dan insiasi konsep manajemen regional, dan (5). Pendampingan dan kerjasama dengan berbagai pihak (networking).
Pada sebagian besar region hasil regionalisasi berakhir stagnan. Stagnasi ini diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti halnya pada region yang berhasil menghidupkan lembaga kerjasama memiliki beberapa faktor pendukung. Beberapa faktor tersebut antara lain : (1). Keterbatasan Kemampuan dan Potensi / Disparitas. Pada region yang telah terbentuk lembaga kerjasama, kesenjangan yang rendah pada kemampuan dan potensi menunjukkan intensitas kegiatan yang tinggi (nampak pada Barlingmascakeb dan Subosukawonosraten), sedangkan pada region yang tinggi disparitasnya, intensitas kegiatan lembaga juga rendah (Kedungsepur). Barlingmascakeb dan Subosukawonosraten berhasil melakukan kegiatan regional marketing yang intensif, sedangkan Kedungsepur sampai tahun 2007 belum memiliki aktivitas riil, baru sebatas koordinasi. Sekretariat bersama yang ditetapkan di Pemkot Semarang pun tidak ada aktivitasnya. Banyak pihak menilai event Semarang Pesona Asia, yang melibatkan anggota kerjasama Kedungsepur lebih merupakan kegiatan Pemkot Semarang, bukan Kedungsepur. Kabupaten/Kota yang tergabung di Kedungsepur hanya bersifat dilibatkan. Dapat disimpulkan bahwa bila telah terbentuk lembaga kerjasama regional, keterkaitan antara disparitas antar kabupaten/Kota dengan intensitas kegiatan lembaga sangat nampak. Bila dicermati lanjut ketimpangan kemampuan ini potensial mengakibatkan dominansi yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam kerjasama regional. Selama sikap kesetaraan ini dapat dijaga, implikasi negatif disparitas dapat dieliminir. (2). Komitmen antar anggota. Pengalaman di Kedungsepur pada event SPA Kota Semarang menunjukkan bahwa : komitmen yang terbentuk dengan pembentukan lembaga kerjasama saja tetap kurang memberikan keberhasilan kerjasama tanpa dibarengi konsep manajemen kerjasama regional. Hal ini karena ego daerah dengan kecurigaannya lebih mengemuka dalam penyelenggaraan kegiatan bersama karena ketidakjelasan arah kerjasama yang akan dilaksanakan. (3). Kerjasama dengan lembaga donor. Pengalaman beberapa lembaga kerjasama menjadi makin kuat dengan kerjasama lembaga dunia terutama GTZ dari Jerman (terlihat pada Subosukawonosraten dan Baringmascakeb).
I.5. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerjasama Regional
Tabel 1. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerjasma Antar Daerah
NO PELAKU PENDUKUNG (inducement factors) PENGHAMBAT (constraint)
1 PEMERINTAH PUSAT 1. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah amanat kerjasama antar daerah
2. Surat Edaran Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, : bentuk kerjasama
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan
4. Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang : Kerjasama Pembangunan Perkotaan. Permendagri No 13 tahun 2006 (yang direvisi dengan Permendagri no 59 Tahun 2007) memberikan dampak psikis berupa ketakutan dan keraguan daerah dalam merintis kerjasama antar daerah.
2 PEMERINTAH PROVINSI Inisiasi Program melalui Bakorlin Belum adanya payung hukum dan panduan operasional kerjasama antar daerah
3 LEMBAGA PENDAMPING:
1. GTZ (Jerman)
2. Perguruan Tinggi
3. LSM 1. Bantuan teknis
2. Konsep MR
3. Fasilitasi (mediasi, dana, penyusunan program) Terbatasnya kesinambungan Pendanaan
4 PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebutuhan kerjasama
2. Komitmen
3. Potensi daerah Adanya Ego daerah
5 LEMBAGA PELAKSANA KERJASAMA 1. Profesionalitas Regional Manager
2. Konsep Manajemen Regional -terbatasnya jejaring
Sumber : hasil identifikasi dan analisa


I.6. Format Kerjasama Regional Saat ini
Ada tiga pola region dan kerjasama regional yang saat ini terjadi di Jawa Tengah, yakni :
1). Keruangan tanpa kerjasama. Region ini memiliki karakter : tidak terjadi komunikasi, hampir tidak terjadi kerjasama (kecuali koordinasi sektoral), tidak ada lembaga kerjasama dan baru tahap identifikasi kebutuhan. Kerjasama. Jenis region ini meliputi : Purwomanggung : Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung. 2. Bergas : Brebes, Tegal dan Slawi 3.Tangkalangka : Batang, Pekalongan, Pemalang dan kajen , dan 4. Banglor : Rembang dan Blora serta 5. Wanarakuti: Juwana, Jepara, Kudus, dan Pati.
2). Kerjasama bersifat koordinatif : memiliki karakter : baru bersifat Koordinatif meski telah tersusun visi belum menggunakan konsep management regional, misi, Platform : sangat makro dan Intensitasitas kegiatan rendah. Region ini terdiri dari : Kedungsepur : Kendal, Demak, Ungaran (Kabupaten Semarang), Kota Semarang dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan)
3). Kerjasama dengan konsep manajemen regional. Region ini memiliki karakter : Digerakkan visi, misi, Dilandasi Konsep Regional Marketing, Intensitas kegiatan tinggi, dan telah Teridentifikasi kebutuhan kerjasama pada pelayanan publik. Region ini terdiri dari : Barlingmascakeb : Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, Subosukawonosraten : Surakarta, Boyolali, Kartasura, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten dan Sampan : Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes.
J. Implikasi
J.1. Implikasi Kebijakan (Policy Implicatons)
Mengingat kebutuhan kerjasama sudah merambah pada pelayanan publik, sedangkan cakupan kerjasama yang telah ada umumnya baru sebatas regional marketing , ke depan sebaiknya cakupan kerjasama tidak sebatas pada salah satu bidang seperti yang selama ini terjadi di Jawa Tengah, tetapi mencakup 2 bidang utama, yakni kerjasama ekonomi dan pelayanan publik.
Kenyataan bahwa pemahaman konsep manajemen regional masih sangat terbatas pada pengelola, ke depan perlu pemahaman konsep manajemen regional yang lebih meluas (eksekutif dan legislatif) pada proses pembentukan region (regionalisasi) dan perintisan kerjasama baru. Sebaiknya pemahaman konsep manajemen regional tidak sebatas kerjasama (co-operation), tetapi ditingkatkan pada semangat kolaborasi. Realitas dari kerjasama yang ada bentuk IGM lebih dapat mengekspresikan collective action dibanding IGR, ke depan perlu rencana pentahapan pematangan kerjasama regonal dari sektor potensial menuju pada kerjasama komprehensif, yang dapat dimulai dari kerjasama yang sifatnya intergovernmental relation (IGR) menuju intergovernmental management (IGM). Namun perangkat kebijakan harus ditata lebih dahulu.
Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari tigkat nasional, provinsial sampai ke tingkat pelaksanaan kerjasama regional, dengan skenario yang tegas. Di Indonesia, dukungan kebijakan / aturan hukum berawal dari UU No 32 Tahun 2004, dilanjutkan Surat Edaran Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 : Kerjasama Pembangunan Perkotaan. Namun demikian kebijakan di atas menjadi tidak konsisten dengan penjabaran kebijakan / aturan lanjut. Biang inkonsistensi aturan tersebut adalah Permendagri No. 13 Tahun 2006 (meskipun telah ada revisi dengan Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, terutama pasal 42 sampai 44 khususnya tentang hibah). Tiadanya kejelasan pos anggaran pada peraturan pengelolaan keuangan daerah membawa dampak psikis bagi penyelenggara kerjasama berupa ketakutan untuk penganggaran di APBD.
Lakukan pembentukan kerjasama regionalisasi dengan karakter desentralistis, dari identifikasi kebutuhan riil, perkuat dengan pemahaman konsep manajemen regional, kerjasama dengan lembaga pendamping dan perluasan jaringan (networking).
J.2. Implikasi Teori (Theory Implications)
Cara pandang klasik (intra organisasi) pada organisasi lembaga kerjasama antar daerah tidak relevan lagi dengan karakter lembaga kerjasama yang mengkolaborasikan daerah-daerah otonom ke dalam hubungan kerjasama antar daerah (intergovernmental organization). Birokrasi Weberian (Albrow, 2005) yang memiliki pola hubungan strukturalis – hierarkhis (kewenangan terpusat, span of controll ketat, impersonal dan sebagainya) menjadi kurang sesuai dengan karakter networking yang flexible dalam semangat kolaborasi (Robert Agranoff, 2003 dan Klijn dalam Koppenjam, 1999). Untuk tercipta kolaborasi, ada 5 dimensi dari Thomson yang harus diperhatikan, yakni : (i) dimensi pemerintahan (Governance dimension), (ii) dimensi administrasi (administration dimension), (iii) dimensi otonomi (Autonomy dimension), (iv) dimensi saling menguntungkan (mutually dimension) serta (v) dimensi kepercayaan dan saling memberi (Trust and reciprocity dimension).
Ada dukungan teori dari Weicchart yang mengemukakan sejumlah faktor yang bermain pada regionalisasi dan kerjasama antar daerah. Weicchart mengisi kekosongan informasi atas variabel pendukung dan penghambat implementasi kebijakan antar daerah dalam model Goggin. Kedua teori nampak saling memperkuat. Sementara sejumlah variabel yang diberikan O’Toole nampak kurang seirama dengan kedua pendapat tersebut. O”Toole justru mengedepankan dimensi stabilitas struktural (indeks stabilitas/ kemapanan struktur) dalam kerjasama antar daerah. O”Toole meyakini tanpa memperhatikan faktor ini hubungan kerjasama yang dilakukan tidak akan mampu meningkatkan kinerja manajerial.
Ada 4 (empat) bentuk networking dari Robert Agranoff yang dapat dipilih ketika dua atau lebih daerah kabupaten / kota akan mengadakan kerjasama. Ke empat bentuk networking tersebut adalah : (a). information networks : beberapa daerah dapat membuat sebuah forum tetapi hanya berfungsi sebagai pertukaran kebijakan, program, teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama. (b). developmental networks : antar kabupaten/ kota memiliki kaitan lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah dalam mengatasi masalah di daerah masing-masing. (c). outreach networks : kabupaten/kota yang tergabung dalam networking menyusun program dan strategi untuk masing-masing daerahnya yang diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner), dan (d). action networks : daerah-daerah yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program aksi bersama, dilaksanakan bersama atau oleh pelaksana lembaga kerjasama.
Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih oleh daerah yang merintis kerjasama antar daerah secara umum, bagi daerah yang berdekatan dapat juga mempertimbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaan kerjasama yang lebih serius (diambil dari pengalaman praktek di beberapa negara), yakni : intergovernmental relation (IGR) atau intergovernmental management (IGM yang dibarengi dengan pengembangan semangat kolaborasi (Thomson).
8.1. Implikasi Metodologis (Methods Implications)
Studi kasus dengan pengkayaan berbagai teknik pengumpulan data ini memiliki kelebihan dapat menangkap agregat perbedaan profil dari masing-masing lembaga kerjasama yang ada secara mendalam. Kedalaman informasi diperoleh dari variatifnya metode penelusuran yang dilakukan, yakni menggunakan berbagai teknik pengumpulan data berupa : indepth interview, penelusuran berita di mass media (koran, web site), wawancara tidak langsung (melalui email dan telepon), survai, kesertaan dalam Forum Pelaku (FPD / Forum Pemerintah Daerah) serta pendampingan. Kekayaan informasi menjadi kekuatan penelitian ini.
Banyaknya ragam teknik pengumpulan data juga membawa kelemahan, yakni : potensial terbawa pada informasi yang sebenarnya kurang diperlukan (waste data), akibat lebih lanjut, alur yang dibangun seringkali terganggu oleh banyaknya informasi. Paling tidak ada dua Implikasi metodologis pada penelitian selanjutnya. Pertama, perlunya konsistensi yang lebih ketat pada fenomena yang akan diungkap. Kedua, luasnya cakupan disertasi membawa implikasi untuk pembatasan fokus penelitian selanjutnya (sempit namun mendalam).


Lihat penjelasan Undang-Undang RI No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 2 ayat (4) huruf a, adalah Pemerintah (Pusat, Provinsi, kabupaten dan Kota), dunia usaha dan masyarakat. Musrenbang dalam sistem perencanaan pembangunan tersebut hanya dilakukan pada tingkat kelurahan, kecamatan, dan Forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) baik tingkat kabupaten / kota maupun Provinsi.
Lihat Cheema, Shabbir and Dennis Rondinelli, 1983, Decentralization and Development, Beverly Hills, CA : Sage Publications

Lihat Djohan, Djohermansyah, 2002, "Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah" (makalah dalam Workshop Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, UNDIP, Semarang

Lihat Mc Guire (20060 : Kajian disertasi ini masuk dalam domain Public Management and Intergovernmental (sesuai klasifikasi Michael McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana Bloomington).
Goggin, L., Malcolm, Ann O'M Bowman, James P. Lester and L. J. O'Toole, Jr., 1990, Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation, Foresman and Company, Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. In : H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001. Salzburg (Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview, Illionis London, England
Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. In : H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001. Salzburg (Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview, Illionis London, England
Abdurahman, Benjamin, (2005), Pemahaman Dasar Regional Management & Regional Marketing, Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah dan Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan implikasi Pelaksanaan otonomi Daerah, IAP Jateng, Semarang

Rustiadi, E., et. All., 2004, Perencanaan Pengembangan Wilayah Konsep Dasar dan Teori, Faperta-IPB,, Bogor

Patterson, D.A. 2008. Intergovernmental Cooperation. Albany, NY: New York State Department of State Division of Local Government Services

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta

Thomson, Ann Marie and James L. Perry (2006), “Collabotration Processes : Inside the Black Box”, paper presented on Public Administration Review; Dec 2006; 66, Academic Research Library pg.20

Wood, Donna, and Barbara Gray, 1991, “Toward a Comprehensive Theory of Collaboration”, Journal of Applied Behavioral Science 27 (2):139-62

Agranoff, Robert, (2003), ”A New Look at the Value-Adding Functions of Intergovernmental Networks”, Paper presented for Sevent National Public Management Research Conference, Georgetown University, October 9-11, 2003
Richardson, H.W., 1969, Regional Economics, Weidenfeld & Nicholson, London

Blair, John P. (1991), Urban and Regional Economics, dalam Iwan Nugroho dan Rochim Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta

McGuire, Michael, 2006, "Intergovernmental Management : A View From The Bottom", Public Administration Review 66 (5) Page 677-679, September-October 2006

O’Toole, Laurence J., Jr., Meier, Kenneth J., 2004, "Intergovermental Management", Journal of Public Administration Research and Theory, 01 – Oct - 2004

Albrow, Martin, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Jakarta

Rouke, Francis E., 1965, Bureucratic Power in Natioanal Politics, Little Brown, Boston, MA.

Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (Edt. 1994), The Post Bureaucratic Organization, new perspective on organization change, Sage Publication, thousand Oaks, CA.

Fukuyama, Francise, 1995, Trust, The Social Vertues And The Creation Of Prosperity, The Free Press, New York, NY
Klijn, Erik-Hans and Joop F.M. Koppenjan, 1999, Managing complex Networks Strategies for The Public Sector, London
Rendell, E.G., and Yablonsky D. 2006. Intergovernmental Cooperation, Handbook. Harisburg, Pensylvania: Department of Community and Economic Development.

Keban, Yeremias T, 2009, “Naskah Akademik Kerjasama Antar Daerah”, Fisipol UGM, Yogyakarta

Lihat Pratikno (Ed.), 2007, Kerjasama Antar Daerah : Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan, Jogja Global Media, Yogyakarta. Buku ini banyak menjelaskan tentang format kerjasama antar daerah yang salah satu bahasannya mendeskripsikan praktek kerjasama antar daerah di beberapa negara antara lain : Afrika Selatan, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Philipina.

Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice –Hall.

Pratikno (Ed.), 2007, op cit.

Waugh Jr, W.L. and G.Streib. 2006. “Collaboration and Leadership for Effective Emergency Management”. Public Administration Review, 66 (December), pp. 131-140

Jenkins, W.O. 2006. “Collaboration over Adaptation”. Public Administration Review, 66, 3 (May/June), pp. 319 – 321.

Yin, Roberth K., 1995, Studi Kasus, Desain dan Methode, PT. Raja Grafindo, Jakarta











Bio Data


I. KETERANGAN PRIBADI :
1. Nama Lengkap : HARDI WARSONO
2. Tempat, tanggal lahir : Ngawi, 27 Agustus 1964
3. Agama : Islam
4. Pekerjaan : Dosen Ilmu Adm. Publik- Fisip Undip
5. Istri : Nurwi Mayasri Fitriastuti, S.Sos, MSi
6. Anak : 1. Davin Hardian Naufal Aisy
2. Tansya Hardiani Aqilarahma
7. Alamat Rumah : Jl. Padi III/ B.188-189 Genuk Indah Semarang (Telp. 024 - 6581434) Hp. 08122933583
8. E-mail : hardie_wsn@yahoo.com
9. Alamat Kantor : (1) Jur. Adm Publik- Fisip Undip, Jl. Imam Bardjo SH. No, 1-3 Semarang (Telp. 024-8446851)
(2) Prodi Magister Adm Publik (MAP) Undip, Gd. Pascasarjana Lt 2. Jl. Imam Bardjo SH, No 5 Semarang (Tlp. 024-8452791)
II. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Peneliti di LP3ES (1988-1990)
2. Staf Pengajar Fisip Undip (1990 – sekarang)
3. Staf Pengajar dan Pengelola Program Studi Magister Administrasi Publik Undip (2001 – sekarang)
4. Tenaga ahli pada beberapa konsultan perencanaan (1990 – sekarang)
5. Pegiat pada LSM Lekad (Lembaga Pengembangan Kerjasama Antar Daerah), Semarang

III. RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. Sekolah Dasar Negeri Winong, Tahun 1976
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ngawi, Tahun 1979
3. Sekolah Menengah Atas 2, Madiun, Tahun 1982
4. Sarjana Ilmu Administrasi Negara Fisip Undip, Semarang, Tahun 1988
5. Magister Perencanaan Kota dan Daerah, UGM, Yogyakarta, Tahun 1997
6. Program Doktor Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, tahun 2009